cerita sex-pembantuku tinah
Namanya
Tinah, dari Banjarnegara. Suaminya meninggal di Kalimantan tahun
kemarin, hampir berbarengan dengan salah satu anaknya juga. Kini satu –
satunya anaknya tinggal dengan ibunya di desa. Tinah berwajah cukup
manis; lumayan tinggi untuk ukuran perempuan kita; rambut sepundak
lebih; hampir seumur adikku. Ia sebagian besar bertugas mengasuh anaknya
adikku yang masih di bawah ...balita, walau juga membantu satu temannya
bersih – bersih rumah. Kondisi psikologisnya yang seperti itu
membuatnya sering terlihat diam dan kurang dapat memahami apa yang
diperintahkan adikku, kasihan memang.
Aku termasuk cukup sering
berkunjung ke rumah adik. Karena suaminya sering ke luar kota, sehingga
aku terkadang diminta untuk menemani atau bila mereka sedang ke luar
kota bersama maka aku yang menjaga rumah. Sikapku terhadap Tinah dan
temannya biasa saja, tidak ada yang khusus. Mereka pun demikian. Tinah
berpakaian biasa – biasa saja bila di rumah adikku. Berkaos dan
bercelana selutut, kadang memakai rok. Terkadang kaos yang dipakai Tinah
sedikit longgar. Sehingga jika ia menundukkan badan, sedikit terlihat
belahan dada bahkan gunung kembarnya yang masih tertutup BH. Wajar jika
aku kadang – kadang mataku mencuri – curi kesempatan itu. Ukurannya
biasa saja, 32 mungkin.
Saat itu aku sedang diminta menjaga rumah
adik, karena keluarganya akan pergi hingga sore dan Tinah tinggal di
rumah, karena kondisi perutnya yang kurang baik. Menjelang keberangkatan
keluarga adik, aku sudah datang di sana.
“Mas..Tinah di rumah,
perutnya agak kurang beres. Mis yang tak bawa“, adikku memberi tahu.
“Oo..ya“, jawabku. Tak berapa lama mereka telah berangkat. Aku bergegas
memasukkan sepeda motor ke dalam rumah. Tinah lalu mengunci pagar. Aku
masuk rumah lalu cepat – cepat duduk di depan komputer, browsing, karena
suami adikku memasang internet untuk mendukung pekerjaannya. Mengecek
email; cari info ini itu dlsb..he3x. 10 menit kemudian Tinah menyajikan
segelas es teh untukku. “Makasih ya Tin“, ucapku. “Iya Pak..silakan
diminum“, kata Tinah. Pembantu – pembantu adikku memang dibiasakan
memanggil “Pak“ pada saudara – saudara majikannya, padahal terdengar
sedikit asing di telinga. Tinah lalu kembali ke dapur, aku lalu meminum
es tehnya, “Hah..segernya“, cuaca sedikit panas walau agak mendung.
Tinah kembali memasuki ruang keluarga, merapikan mainan – mainan anak
adikku. Posisi meja komputer dan mainan yang bertebaran di lantai
selisih dua kotak. Semula aku belum ngeh akan hal itu. Semula mataku
menatap layar komputer di situs DS. Saat Tinah mulai memasukkan kembali
mainan – mainan ke keranjang, baru aku menyadarinya. Sesekali aku
meliriknya. “Sedikit putih ternyata anak ini. Bodynya biasa aja sih,
langsing dan kayaknya masih padat. Wah..ini gara – gara masuk situs DS
jadi mikir macem – macem..hi3x“, pikiranku berkata – kata. Karena jarak
kami yang lumayan dekat, maka ketika Tinah bersimpuh di lantai merapikan
mainan di keranjang, otomatis kaosnya yang sedikit longgar
memperlihatkan sebentuk keindahan yang terbungkus penutup warna biru.
Tinah jelas tidak tahu kenakalan mataku yang sedang menatap sebagian
keindahan tubuhnya. “Andaikan aku…uhh..ngayal nih“. Tak terasa penisku
mulai membesar, “Ke kamar mandi mbetulin posisi penis nih..sambil
kencing“. Komputer kutinggal dengan layar bergambar Maria Ozawa sedang
disetubuhi di kamar mandi. Aku lalu masuk kamar mandi, membuka jins dan
cd lalu mengeluarkan penis. Agak susah juga kencing dengan penis yang
sedikit tegang. “Lah..pintu lupa tak tutup“, aku terkejut.
“Terlanjur..gak ada orang lain kok“, aku mendinginkan diri.
Aku
keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di depan komputer, melanjutkan
ngubek – ubek DS. “Cari camilan di meja makan ah..jadi lapar“. Aku
mencari apa yang bisa dimakan untuk menemani kesibukan nge – net. “Ada
roti sama biskuit nih..asyik“. Roti kusemir mentega dan selai kacang dan
diatasnya kulapis dengan selai blueberry, “Hmm..enaknya. Nanti bikin
lagi ah..masih banyak rotinya“. Rumah adikku tipe agak kecil, jadi jarak
antar ruangan agak dekat. Letak meja makan dengan kamar pembantu hanya
3meter – an. Kulihat dengan ujung mata, Tinah sedang di kamarnya entah
beraktifitas apa. Selesai menyelesaikan semiran roti, aku kembali ke
ruang keluarga yang melewati kamar pembantu dan kamar mandi mereka.
2detik aku dan Tinah bertatapan mata, tidak ada sesuatu, biasa saja.
Kumakan roti sambil n – DS lagi.
Terdengar gemercik air di belakang.
Mungkin Tinah sedang mencuci perabotan dapur atau sedang mandi. “Belum
ambil air putih nih..“, tak ada maksud apa – apa dengan suara air
tersebut. Hanya kebetulan aku belum minum air putih, walau telah ada es
teh. Aku ke ruang makan lagi dan mengambil gelas lalu menuju dispenser.
Mata dan pikiran hanya tertuju pada air yang mengucur dari dispenser.
Baru setelah melewati kamar mandi pembantu ada yang special di sana.
”Lah..pintunya kok sedikit mbuka. Tin lupa dan sedang apa di dalam..moga
gak mandi. Bisa dilaporin ngintip aku”. Masih tak terlihat kegiatannya,
setelah tangan yang sedang menggapai gayung dan kaki yang diguyurnya
baru aku ngeh..Tinah sedang mandi. ”Duhh..kesempatan sangat – sangat
langka ini..tapi..kalo dia teriak dan nanti lapor adikku..bisa gawat bin
masalah. Berlagak gak liat aja ahh”. Aku menutup pintu kaca ruang makan
dan melewati kamar mandi Tinah. Tiba – tiba ”Ahh..ada
kecoak..Hush..hush..Aduhh..gimana nih”, terdengar keributan di sana.
”He3x..ternyata dia takut kecoak toh”, aku tersenyum sambil pegang gelas
saat melewati kamar mandi.
”Pak..Pak”, Tinah memanggilku.
”Walah..malah panggil aku. Gimana nih”. ”Tolong ambilkan semprotan
serangga di gudang ya Pak..cepet ya Pak..atau..”, tidak terdengar
lanjutan kalimatnya. Sejak Tinah bersuara, aku sudah berhenti dan diam
di dekat pintu kamar mandi. ”Atau..Bapak yang masuk pukul
kecoaknya..mumpung masih ada”, lanjutnya. Deg..”Ini..antara khayalan
yang jadi nyata dan ketakutan kalo dilaporkan”, aku berpikir. ”Cepet
Pak..kecoaknya di dekat kloset. Bapak masuk aja..nggak pa – pa. Nggak
saya laporin ke Bapak sama Ibu”, Tinah tahu keraguanku. ”Jangan
ah..nanti kalo ada yang tau atau kamu laporin bisa rame”, jawabku.
”Nggak Pak..bener. Aduh..cepet Pak..dia mau pindah lagi”, Tinah kembali
meyakinkanku dan meminta aku cepat masuk karena kelihatannya si kecoak
mau lari lagi. ”Ya udah kalo gitu. Bentar..ambil sandal dulu”. Sambil
tetap menimbang, take it or leave it. Aku menaruh gelas di meja makan
lalu mengambil sandal untuk membunuh kecoak nakal itu. Entah rejeki atau
kesialan bagiku tentang kemunculannya. ”Aku masuk ya Tin”, masih ragu
diriku. ”Masuk aja Pak”, Tinah tetap membujukku. Kubuka pintu kamar
mandi sedikit, lalu kuintip letak kecoaknya, belum terlihat. Pintu
dibuka lebih lagi oleh Tinah. Kepalanya sedikit terlihat dari balik
pintu dan tangannya menunjuk letak kecoak, ”..tuh Pak mau lari lagi”.
Aku melihatnya dan mulai masuk. Tinah berdiri di balik pintu dengan
menutupi sedikit bagian tubuhnya dengan handuk. Terlihat paha; pundak
dan daging susunya. Serta rambut yang diikat di belakang kepalanya,
walau hanya sedikit semua. Handuknya menutupi bagian paha ke atas, perut
hingga bagian dada, warna biru, yang disangga tangan kirinya. Semua hal
itu dari ekor mataku, karena fokusku pada sang kecoak. ”Memang mulus
dan cukup putih”, masih sempat aku memikirkannya. Bagaimana tidak, jarak
kami hanya 2 – 3 langkah, tidak ada orang lain lagi di rumah.
”Plak..plak”, kecoak pun mati dengan sukses. Aku guyur dengan air agar
masuk ke lubang pembuangan. Tanpa memikirkan lebih lanjut, aku lalu
melangkah ke luar kamar mandi. ”Terima kasih ya Pak..sudah nolongin”.
”Oh..iya..”, sambil kutatap dia dan Tinah tersenyum. ”Bapak nggak cuci
tangan sekalian..di sini saja”, tawar Tinah. ”Wah..ini. Makin bikin dag
dig dug”. ”Emm..iya deh”. Aku akan mencuci tangan dengan sabun, yang
ternyata posisi tempat sabun ada di belakang tubuh Tinah. Aku menengok
ke belakang tubuhnya. Rupanya dia baru sadar, lalu mengambilkan sabun,
”Maaf Pak..ini sabunnya”. Tinah mengulurkan sabun dengan tersenyum.
Sabun yang sedikit basah berpindah dan tangan kami mau tidak mau
bersentuhan. ”Makasih ya”, ujarku. Aku mencuci tangan dan mengembalikan
sabun padanya. ”Bapak nggak..sekalian mandi”, tanya Tinah.
”Waduh..tawaran apa lagi ini. Tambah gawat”. ”Iya..nanti di rumah”.
”Nggak di sini saja Pak?”. ”Kalo di sini yaa di kamar mandi depan”. ”Di
kamar mandi ini saja Pak..”. ”Nggaklah..jangan. Di depan aja. Kalo di
sini ya habis kamu mandi”. ”Maksud saya..sekalian sekarang sama saya.
Hitung – hitung Bapak sudah nolongin saya”. Matanya memohon. Deenngg,
sebuah lonceng menggema di kepala. ”Ini ajakan yang membahayakan, juga
menyenangkan”, pikirku. ”Bapak nggak usah mikir. Saya nggak akan bilang
siapa – siapa. Ya Pak..di sini saja”, dia memahami kekhawatiranku.
”Emm..ya udah kalo kamu yang minta gitu”, jawabku.
Entah mengapa aku
merasa canggung saat akan membuka kaosku. Padahal tidak ada orang lain
dan juga sesekali ke pijat plus. Aku buka jam tanganku dulu, lalu aku
keluar dari kamar mandi dan kuletakkan di meja makan. Posisi Tinah masih
tetap di belakang pintu, dengan tangan kanan menahan pintu agar tetap
agak terbuka. Kembali ke kamar mandi, kubuka kaosku dan kusampirkan di
cantolan yang menempel di tembok. ”Pintunya nggak ditutup aja Tin ?”,
tanyaku. Pertanyaanku sesungguhnya tidak memerlukan jawaban, hanya basa
basi. “Nggak usah Pak..kan nggak ada siapa – siapa”, jawab Tinah. Lalu
kubuka jinsku, kusampirkan pula. Sesaat aku masih ragu melepas kain
terakhir penutup tubuhk, cd – ku. “Bapak nggak nglepas celana dalem ?”,
tanyanya. “Heh..ya iya”, kujawab dengan nyengir. Penisku sebisa mungkin
kutahan tidak mengembang, tapi hanya bisa kutahan mengembang ¼ – nya.
Sengaja kutatap matanya saat melepas cd – ku. Mata Tinah sedikit
membesar. Kusampirkan juga cd – ku. Lalu dengan tenang Tinah
menyampirkan handuk biru yang sedari tadi menutup sebagian tubuhnya.
“Duh..pantatnya masih ok. Pinggangnya tidak berlemak. Sabar ya nak..kita
liat situasi dulu”, kataku pada sang penis sambil kuelus.
Tinah
lalu membalikkan badan. Cegluk, suara ludah yang kutelan. “Uhh..susu
yang masih bagus juga. Pentilnya nggak terlalu besar, areolanya juga,
warnanya pas..nggak item banget. Perutnya sedikit rata dan..hmm..rambut
bawahnya hanya sedikit”. Mau tidak mau, penisku makin mengembang dan itu
jelas dilihat Tinah. Kembali sebisa mungkin kutahan perkembangannya.
Tinah lalu menggosok gigi dahulu. Karena aku tidak membawa sikat gigi,
hanya berkumur dengan obat kumur. “Bapak saya mandiin dulu ya”, kata
Tinah. “Terserah kamu”, jawabku sambil tersenyum. Tinah lalu mengambil
segayung air, diguyurkan ke badan dari leher dan pundak. Mengambil lagi
segayung, diguyurkan ke perut dan punggung ditambah senyum manisnya. Ia
lalu meraih sabun, digosokkan ke leher; pundak; dada dan tangan kananku.
Dibasahinya sabun dengan diguyur air lalu digosokkan ke tangan kiri;
perut; penis; bola – bolaku. “Uhh..gimana bisa nahan penis nggak
ngembang”. Bagaimana tidak, saat menggosok penis dan bola – bolaku
sengaja digosok dan di urutnya. Ditatapnya senjata kebanggaanku, lalu
menatapku dan tersenyum. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum juga.
Diambilnya lagi segayung air, sabun dibasahi dan sisanya diguyurkan ke
paha dan kaki lalu digosoknya. Sabun kemudian diletakkan di pinggir bak
mandi, kemudian mengambil segayung air dan diguyurkan ke badan depanku.
Ambil segayung lagi dan diguyurkan lagi, tak lupa senjataku dibersihkan
dari sisa – sisa sabun. Sedikit diremas oleh Tinah. Kutahan keinginanku
untuk membalas perlakuannya, “biar Tinah yang pegang kendali”.
“Balik badan Pak”, perintahnya. Air diguyurkan ke punggung dan bagian
bawah badanku. Digosoknya punggung; pantat; lalu paha dan kaki sisi
belakang. Bonusnya, kembali menggosok penis dan bola – bolaku dan
meremasnya. “Duh..ni anak. Bikin senewen..sengaja membuat panas aku“.
Kembali air mengguyur tubuh belakangku, sebanyak 3x. Dibalikkan badanku
lalu mengguyur senjataku, digosok – gosoknya hingga sedikit memerah.
Jantungku makin berdebar. “Sudah selesai Pak“, kata Tinah. “Makasih ya
Tin“. “Emm..kamu mau tak mandiin juga ?“, kepalang basah, kutawarkan
permintaan seperti dia tadi. “Nngg..nggak usah Pak..ngrepoti Bapak“. “Ya
nggaklah..jadi imbang kan“. Langsung kuambil segayung air lalu kuguyur
ke tubuh depannya. Ia hanya menatapku. Kuambil lagi segayung. Lalu sabun
yang tadi tergeletak di pinggir bak mandi kuambil dan aku basahi.
Kugosok leher; pundak; dan kedua tangannya. Kubasahi sabun lagi dan
kugosokkan ke dada; kedua susu dan pentilnya; serta perut. Kutatap
matanya saat kugosok kedua gunungnya yang kumainkan sedikit pentil –
pentilnya. Tinah juga menatapku. Matanya mulai sedikit sayu. 1menit – an
kumainkan pentil –pentilnya, lalu sedikit kuremas susu kirinya.
Bibirnya sedikit membuat huruf o kecil dan “ohh..hhmm“. Kubasahi lagi
sabun, dan kugosokkan ke pinggang; paha dan kedua kakinya. Vagina luar
hanya kusentuh sedikit dengan sabun, takut perih dan iritasi nanti.
Itupun sudah cukup membuat matanya makin meredup. Air segayung lalu
kuguyurkan ke tubuhnya 2 – 3x. Kugosok dan kuremas sedikit keras dua
gunungnya. Sedikit berguncang. Dua tangan Tinah memegang pinggir bak
mandi, mulai erat. Kumainkan lagi pentil – pentilnya.
Aku
merundukkan badan dan kukecup pucuk – pucuk bunganya bergantian. Tak
perlu lagi ijin darinya. Tangan kiriku mengusap – usap lembut luar
vaginanya. “Ouuh Paakk..“, Tinah mulai mendesah. Kukecup bibirnya
lembut, “nanti dilanjut lagi“. Matanya seakan bernada protes, tapi Tinah
diam saja. Kubalikkan tubuhnya, lalu kuguyur punggungnya sekarang.
Sabun kugosokkan ke punggung; pinggang; pantat. Sabun kubasahi lagi lalu
kugosokkan ke paha dan kaki bagian belakang. Aku menyusuri tubuh
depannya lagi dari pinggang belakangnya. Tinah sedikit menggeliat geli.
Kutangkupkan dua tanganku di dua susunya. Aku senang bermain – main di
susu yang bagus atau masih ok. Seluruh belakang lehernya aku cium dan
kecup, begitu juga dua kupingnya dan kubisikkan ”kamu diam saja
ya..cup”. ”Geli Paakk..”, Tinah mendesah lagi. Dua pucuk bunganya makin
mengencang dan keras. Aku menyentil – nyentil, kuputar – putar seperti
mencari gelombang radio. Dua tangan Tinah mencengkeram paha depanku.
”Aahh..hmmppff”, erangnya. Tangan kananku mengambil segayung air,
kuguyur ke tubuh depannya. Kali ini kuusap – usap vagina luarnya dengan
tangan kanan, sedang yang kiri tetap di susu kanan Tinah.
Pahaku
makin dicengkeramnya. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan seiring
kecupan dan ciumanku di belakang leher dan daun – daun telinganya.
Sesekali aku menyentuh bibir dalamnya. Terasa telah menghangat dan
sedikit basah. ”Ppaakkk..oohhh”. Tubuhnya mulai menggeliat – geliat.
Jari tengah kanan kumasukkan sedikit dan kusentuhkan pada dinding atas
vaginanya, sedang jempol kananku kutekan – tekankan di lubang
kencingnya. ”Aauugghhh Ppaakkk..eemmmppfff”. Kuku – kuku jemari Tinah
terasa menggores dua paha depanku. ”Kenapa Tinah..hmm..kamu sendiri yang
memulai kan”, bisikku. Tangan kiriku meraih kepalanya dan kupalingkan
ke kanan, dan kutahan lalu kucium dengan nada 2 kecup 1 masukkan lidah.
Tinah terkejut, matanya sedikit membesar tapi kemudian ia menikmatinya.
Ganti tangan kananku melakukan hal yang sama. Tinah hanya bisa
mengeluarkan suara yang tertahan ”nngg..emmppfftt..nnngggg”, begitu
berulang. Vagina dalamnya makin hangat dan basah. Secara tiba – tiba
kuhentikan lalu kubalikkan badannya menghadapku. Kemudian aku sandarkan
tubuhnya di bak mandi. Aku kemudian berjongkok dan mulai mengecupi
vaginanya. ”Jjanggann Ppakk..jorok..”, dengan dua tangannya menahan laju
kepalaku. Kutatap matanya dan ”sssttt..”, jari telunjuk kanan
kuletakkan di bibirnya. Dua tangannya kusandingkan di samping kiri dan
kanan tubuhnya.
Kukecup kecil, sekali dua kali. Kemudian lidahku
mulai menjulur di pintu kenikmatan kami. Mataku kuarahkan menatapnya.
Tinah agak malu rupanya, tetapi ada sedikit senyum di sana. Lidahku
makin intens menyerang vagina luar dan dalamnya. ”Ssuuddaahh
Pppaakk..aaaddduuuhh..oohhhh”, disertai geliat tubuh yang makin menjadi.
Karena tak tahan dengan seranganku, dua tangannya meremas dan sedikit
menarik rambut dan kepalalu. Cairan lavanya makin keluar. Dua tanganku
mendekap erat buah pantatnya. Jari tengah kiriku sesekali kumasukkan ke
vagina dari belakang lalu kesentuhkan dan kutekan sedikit ke anusnya.
”Aammppuuunnn Pppaakkk..oouuuggghh..eeemmmpppfffs
ssuudddaahhh..ooohhhh”, matanya agak membeliak ke atas dan kepala serta
rambutku diremasnya kuat. Lava kepuasan dirinya mengalir deras, rasanya
gurih sedikit manis. Kudekap erat Tinah dengan kepalaku di vaginanya dan
pantatnya kuremas – remas. Kepalaku tetap diusap –usap oleh Tinah.
Ia menarik kepalaku dan menciumnya ganas. Lambat laun Tinah dapat
belajar dariku. Tangan kanannya meremas dan menarik – narik penisku.
”Panjang ya Pak”, tanya Tinah. ”Biasa kok Tin..pingin ya..”, godaku.
”Aahh Bapak..”, jawabnya dengan memainkan bola – bolaku. Tinah
merundukkan tubuhnya lalu tangan kirinya memegang penis dan menciumnya.
Mungkin ia belum pernah meng – oral suaminya dulu sebab penisku hanya
dicium – cium dan diremas – remas. ”Kamu mau ngemut burungku Tin..kayak
ngemut permen lolly ? Tapi kalo belum pernah ya nggak usah..nggak pa –
pa”. Tinah menatapku dan kubelai rambutnya. Dengan wajah ragu
didekatkannya penisku di bibirnya. Tinah mulai membuka mulut, sedikit
demi sedikit penisku memasuki mulutnya. Tinah menatapku lagi, meminta
penjelasan langkah selanjutnya. ”Sekarang..kamu maju mundurkan dengan
dipegang tanganmu. Yaa..gitu..oohh..hhmm”. Rupanya muridku cepat
mengerti penjelasan gurunya. Rambut dan kepalanya kubelai dan kuremas –
remas. ”Lalu..lidahmu kamu puter – puter di kepala penis atau di lubang
kencing yang bergaris panjang ituuu..yyyahhhh..sssuuudddaahh
pppiiinnnttteeerrr kkkaaammuu Tttiinnnn”.
Kuangkat kepalanya dari
penisku dan kami berciuman dengan panas. Saling meremas susu; pantat dan
kelamin masing – masing. Lalu kubalikkan lagi tubuhnya menghadap bak
mandi. Dua tangannya kuletakkan di pinggir bak mandi. Kembali aku
bermain – main di gunung Tinah. Penisku yang telah panas dan mengacung
sekali kudekatkan ke vaginanya. Kukecup – kecup pundak dan leher
belakangnya. Ikat rambutnya aku lepas sehingga dirinya terlihat makin
seksi kala menggeliat – geliat dan rambutnya tergerai ke sana kemari.
Aku geser – geserkan penis di pintu surgawinya, sengaja aku
mempermainkan rangsangan pada Tinah.
”Oohh..Ppaakk..mmaassuukkkiinn..Pppaakkk”, pintanya. ”Kamu mau burungku
kumasukkin..hmm.. ?”. ”Iyyyaa..Pppaakkk..aaayyyoo Pppaakk..”, rintihnya
makin kencang. Kumasukkan penis pelan – pelan. ”Eemmppff..”, erangnya.
Lalu kuhentakkan pelan hingga penisku terasa menyentuh dinding belakang.
”Ooouuggghh..Pppaakkkk..mentok Pppaakk”. Aku menggerakkan tubuh pelan –
pelan, kunikmati jepitan dinding – dindingnya yang masih kuat. Dua
tanganku tak henti bermain di dadanya. Kumainkan irama di vaginanya
dengan hitungan 1 – 2 pelan 3 kuhentakkan dalam – dalam. Lalu tangan
kananku meraih kepalanya seperti tadi dan kucium panas bibirnya. Dinding
vagina Tinah makin hangat dan banjir sepertinya. Dua tangannya
mencengkeram erat pinggir bak mandi.
Sekarang tanpa hitungan, kumasuk keluarkan penis cepat dan kuat. ”Oohh..
oohh…hhmmppffftt..”, erang Tinah berulang. Sedang aku sedikit menggeram
dan ”oouugghhh..hhmmppff..mpekmu enaknya Tttiinn..”. ”Bbuurrruunnggg
Bbbaapppakk jjjuugggaaa”. Jarak pinggangku dan pantat Tinah makin rapat.
Tangan kanan kuusap – usapkan di vaginanya. Dalam kamar mandi hanya ada
suara tetes air satu – satu serta desah, bunyi beradunya paha dan
pantat dan erangan kami. ”Pppaaakkk..sssaaayyyaa mmaaauu..ooohhh..”.
”Tttuunnggguu Tttiiinnn..aaakkkuuu jjjuuggggaa..Di dalam apa di
llluuaarrr”, tanyaku. ”Dddaa lllammm aajjjaaa
Pppaakkkk..oobbaattnyaa mmassihh aaddaa..”, jawab Tinah. Mendengar itu
serangan makin kufokuskan. Segala yang ada di tubuhnya aku remas. Dua
tangan Tinah tak tahan di pinggir bak mandi dan mencengkeram paha serta
pantatku. Bibirku dicarinya lalu ”hhhmmmpppfffttt..”.
Pantatku diremas
kuat – kuat. Bibirnya dilepas dariku dan ”ooouuggghhh..”, desah Tinah
panjang. Lava yang hangat terasa mengaliri penisku yang masih bekerja.
Kepalanya tertunduk menghadap air di bak mandi. Kudekap erat tubuh
depannya. Kukecup dan kugigit leher belakangnya. Lalu tangan kiriku
meraih kepalanya dan kucium dalam – dalam. Dengan satu hentakan dalam
kumuntahkan magma berkali – kali. ”Ooouugghhh Tttiinnaahhh..hhhmmm..”.
kepalaku tertunduk di pundaknya dengan tangan kiri di susu sedang yang
kanan di vaginanya.
Lama kami berposisi seperti itu. ”Makasih ya
Tin..kamu baik sekali. Enak banget tubuhmu”, kataku dengan membalikkan
badannya dan kucium mesra bibirnya. Penis kumasukkan lagi, masih ingin
berlama – lama di hangatnya vagina Tinah. ”Saya yang terima kasih Pak.
Sudah lama saya pingin tapi sama orang nggak kenal kan nggak mungkin
Pak. Burung Bapak pas di mpek saya”, Tinah menjawab dan mencium bibirku
pula. ”Mpekmu masih kuat nyengkeramnya..dan panas”. Kubelai – belai
kepalanya, ”kok bisa kamu pingin ngajak main sama aku ? Malah aku yang
takut kamu laporin”. Sambil mengusap – usap punggungku, ”Tadi waktu saya
bersihin mainan adik, saya liat gambar di komputer. Terus waktu Bapak
kencing tadi kan lupa nutup pintu..keliatan burung Bapak yang agak gede
pas keluar dari celana”. ”Oo gitu..nakal ya kamu. Bener kamu masih
nyimpen obatnya ?”, sambil kucubit pipinya. ”Masih kok Pak..sisa yang
dulu”, jawab Tinah. Makin lama terasa penisku yang mengecil. Kucium
dalam – dalam lagi bibirnya, ”sekarang..mandi yang beneran”. ”Heeh..iya
Pak”, Tinah menjawab sambil tersenyum manis. Ia lalu memelukku erat. Aku
membalasnya dengan memeluk erat dan mengusap – usap punggung serta
kepalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar